Asas-asas Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam)
ASAS-ASAS
UMUM FIQH JINAYAH
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Fiqh Jinayah
Dosen
Pengampu : Ahmad Rofi’i, MA, LLM

Disusun
Oleh :
Abdullah
Habibi (1414233179)
Eep
Muhopilah (1414233193)
Nurfaidah
(1414232165)
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
Jl.Perjuangan By Pass Sunyaragi Telp. (0231) 481264
Fax. (0231) 489926
Cirebon 45132
BAB II
ASAS UMUM FIQH JINAYAH
A.
Asas
Legalitas
1.
Pengertian
Asas Legalitas
Asas legalitas adalah suatu asas yang
menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada nash
(ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman.[[1]]
Jadi, Asas legalitas mengandung arti bahwa seseorang tidak akan dituntut secara
pidana akibat perbuatannya apabila belum ada aturan yang menyatakan bahwa
perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana atau dapat dikenai hukuman.
Dengan kata lain, seseorang akan dituntut secara pidana apabila ia melanggar
aturan yang telah ada, baik melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
2.
Kaidah
dan Sumber Asas Legalitas
Salah
satu kaidah yang penting dalam syariat islam adalah
لاَ حُكْمَ لأُفْعَالِ الْعُقَلاَءِ
قَبْلَ وُرُوْدِ النَصِّى
“Sebelum
ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal
sehat”.
Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa
perbuatan seseorang tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang,
selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan dia mempunyai kebebasan
untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan itu sehingga ada nash yang
melarangnya.
Pengertian dari kaidah di atas identik
dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الاصل في الاشياء
الاباحة حتى يقوم الدليل على تحريمه
“Pada
dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil
(petunjuk) yang menunjukkan keharamannya”
Oleh karena itu, perbuatan dan sikap tidak
berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja
melainkan harus dinyatakan dengan hukumannya maka kesimpulan yang dapat diambil
dari semua kaidah tersebut adalah bahwa menurut syari’at islam tidak ada
jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya nash.
Disamping
kaidah-kaidah tersebut masih ada kaidah lain yang berbunyi:
لاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ من كان قادرا على فهم
دليل التكليف أهلا لما كلف به. ولاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ بفعل ممكن مقدور للمكلف
معلوم له علما يحمله على امتثاله.
“Menurut
syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (Taklif) kecuali apabila ia
mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut
syara’ pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan pekerjaan yang
mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan
pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.
Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang
syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang
yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan. Adapun syarat
untuk para mukallaf ada dua macam:[[2]]
1)
Pelaku
sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi
2)
Pelaku
orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan diberi hukuman.
Sedangkan untuk syarat perbuatan yang
diperintahkan ada tiga macam :
1)
Perbuatan
itu mungkin dikerjakan.
2)
Perbuatan
itu disanggupi oleh mukallaf.
3)
Perbuatan
tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.
Sumber dari asas legalitas yang didasarkan
pada kaidah diatas adalah:
a.
Surah
Al-Israa’ ayat 15
“Dan
kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul”.
b.
Surah
Al-Qashash ayat 59
“Dan
tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota
itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka”
c.
Surah
Al-Baqarah ayat 286
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.”
d.
Surah
Al-Anfaal ayat 38
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang
dosa-dosa mereka yang sudah lalu”
Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa asas
legalitas sudah terdapat syari’at Islam, sejak Islam diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
3.
Penerapan Asas
Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh Syara’
pada semua jarimah, akan tetapi corak dan penerapannya tidak sama, melainkan
berbeda-beda menurut perbedaan macamnya jarimah, diantaranya sebagai berikut.
1) Asas
Legalitas pada Jarimah Hudud
Dalam
jarimah hudud, hukumannya telah ditentukan oleh syara’, nash-nash tentang
hukuman tersebut secara tegas dan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
a. Jarimah
zina
Untuk
jarimah zina larangan dan hukumannya terdapat dalam:
a) Al-Qur’an
Surah Al-Israa’ ayat 32
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”
b) Al-Qur’an Surah An-Nuur
ayat 2

“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”
c)
Hadis Ubadah ibn
Ash-Shamit
Dari Ubadah ibn Ash-Shamit, ia berkata,
Rasulullah bersabda:
“Ambillah hukum dariku,
ambillah hokum dariku! Sesungguhnya Allah telah membuka jalan untuk kaum
wanita. Bujangan yang berzina dengan gadis, cambuklah seratus kali dan
asingkanlah selama setahun, orang yang sudah menikah berzina dengan orang yang
sudah menikah cambuklah seratus kali dan rajamlah.”
b.
Jarimah qadzaf (menuduh
orang lain berbuat zina)
Untuk jarimah qadzaf nash tentang
hukumannya terdapat dalam surah An-Nuur ayat 4.

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
c.
Jarimah minum-minuman keras
Untuk
jarimah minum-minuman keras larangannya terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 90.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.”
Adapun
hukumannya dijelaskan oleh Nabi SAW dalam beberapa hadits, namun tidak ada
riwayat pasti dan jelas yang menerangkan tentang kadar dan batas hukuman. Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, Imam Abu Daud,
dan Imam At-Tirmidzi, dari sahabat Anas: “Sesungguhnya Nabi SAW didatangi oleh
sahabat yang membawa seorang laki-laki yang telah meminum khamar. Nabi kemudian
menjilidnya dengan dua pelepah korma sebanyak empat puluh kali. Berkata Anas:
hal itu dilakukan juga oleh Abu Bakar. Pada masa Umar diadakanlah musyawarah
dengan para sahabat, maka Abdurrahman Ibn ‘Auf berkata: Hukuman had yang paling
ringan adalah delapan puluh kali dera. Maka Sayidina Umar akhirnya
memerintahkan untuk menerapkan hukuman delapan puluh kali dera tersebut.” (HR.
Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
d.
Jarimah
pencurian
Untuk jarimah pencurian hukumannya
tercantum dalam Surah Al-Maaidah ayat 38.

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
e.
Jarimah perampokkan
Untuk
jarimah perampokkan hukumannya tercantum dalam surah Al-Maaidah ayat 33.

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar.”
f. Jarimah riddah (keluar dari Islam)
Untuk
jarimah riddah larangannya tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 217.
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”
Berdasarkan
hadits Nabi SAW dijelaskan bahwa hukuman bagi orang yang keluar dari Islam atau
menukar agamanya yaitu dirajam.
g. Jarimah pemberontakan
Untuk
jarimah pemberontakan ketentuannya tercantum dalam Surah Al-Hujurat ayat 9.
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia
telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
2) Asas
Legalitas pada Jarimah Qishash
Untuk jarimah Qishash diat yang diliputi tindak pidana
pembunuhan dan penganiayaan (pelukaan), ketentuannya tercantum dalam beberapa
ayat Al-Qur’an. [[3]]Untuk
tindak pidana pembunuhan, larangannya tercantum dalam Surah Al-Israa’ ayat 33.

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
Hukuman untuk tindak pidana
pembunuhan ini berbeda-beda sesuai dengan jenis pembunuhannya, yaitu pembunuhan
sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, dan pembunuhan karena kesalahan.
Untuk tindak pidana pelukaan
(penganiayaan) ketentuannya antara lain tercantum dalam:
a. Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 179

“Dan dalam
qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.”
b. Hadits ‘Amr Ibn Hasan
Dari Abi Bakar Ibnu Muhammad ibn ‘Amr Ibnu Hazm dari ayahnya
dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman dan di
dalam suratnya itu tertulis…dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai
gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu
diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang
belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat,
pada ma’mumah sepertiga diyat, pada jaifah sepertiga diyat, pada munqilah lima
belas ekor onta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor onta, pada satu
gigi lima ekor onta, pada mudhihah lima ekor onta; dan laki-laki bisa dibunuh
(diqhishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya seribu dinar.
(HR. An-Nasa’i)
3) Asas
Legalitas pada Jarimah Ta’zir
Asas legalitas juga diterapkan oleh
syara’ pada jarimah ta’zir meskipun berbeda dengan penerapan pada
jarimah-jarimah hudud dan qhishash-diyat. Hal ini karena syari’at Islam tidak
menentukan secara tegas dan terperinci, baik jarimahnya maupun hukumannya.
Ta’zir adalah setiap hukuman yang
bersifat pendidikan atas setiap perbuatan maksiat yang hukumannya belum
ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri untuk menetapkannya.[[4]]
Dengan demikian, setiap perbuatan maksiat adalah perbuatan yang bertentangan
dengan hokum syara’ dan merupakan jarimah yang harus dikenakan hukuman.
Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir
kepada tiga bagian,[[5]]
yaitu:
a. Hukuman
ta’zir atas perbuatan maksiat
Para
ulama telah sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan
maksiat. Pengertian maksiat adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang
diharamkan (dilarang) oleh syara’ dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
diwajibkan (diperintahkan) olehnya.
Perbuatan-perbuatan
maksiat dibagi menjadi 3 bagian,[[6]]
yaitu:
a) Maksiat
yang dikenakan hokum had, tetapi kadang-kadang ditambah dengan kifarat, seperti
pembunuhan, pencurian, zina dan sebagainya. Yakni terhadap jarimah-jarimah
tersebut, selain dikenakan hukuman had juga dikenakan hukuman ta’zir.
b) Maksiat
yang dikenakan kifarat, tetapi tidak dikenakan hukuman had. Contohnya seperti
menyetubuhi istri pada siang hari bulan Ramadhan. Pada dasarnya kifarat
termasuk ibadah, karena wujudnya berupa pembebasan hamba sahaya, atau puasa,
atau memberi makan orang-orang miskin. Akan tetapi, kalau kifarat dikenakan
kterhadap perbuatan maksiat maka kifarat
merupakan hukuman, seperti kifarat pada pembunuhan sengaja atau tidak sengaja. Perbuatan
yang termasuk ke dalam kelompok ini terbatas, antara lain merusak puasa wajib,
merusak ihram, merusak sumpah, bersetubuh pada waktu haid.
c) Maksiat
yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat, dan sebagian besar maksiat
karena mencakup semua jenis maksiat yang tidak termasuk ke dalam kelompok
pertama dan kedua. Contohnya seperti mencium wanita yang bukan istri, percobaan
pencurian, memakan bangkai atau darah, menghianati janji, menipu timbangan,
sumpah palsu, makan harta riba, memaki-maki, berjudi, memata-matai orang lain,
dan sebagainya. Pada perbuatan maksiat ini para ulama sepakat untuk menerapkan
hukuman ta’zir.
b. Hukuman
ta’zir dalam rangka mewujudkan kemashlahatan umum
Menurut kaidah umum yang berlaku dalam
syariat islam, hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap perbuatan maksiat, yaitu
perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri.
Perbuatan-perbuatan yang termasuk ke
dalam kelompok ini tidak ditentukan sebelumnya, sebab hal ini tergantung pada
sifat-sifat tertentu seperti adanya unsur merugikan kepentingan atau ketertiban
umum. Untuk terpenuhinya sifat tersebut maka harus terpenuhinya dua hal sebagai
berikut.
a. Ia
telah melakukan perbuatan yang mengganggu kepentingan dan ketertiban umum
b. Ia
berada dalam kondisi yang mengganggu kepentingna dan ketertiban umum.
Apabila salah satu atau kedua hal
tersebut sudah dapat dibuktikan maka hakim tidak boleh membebaskan orang yang
melakukan perbuatan tersebut, melainkan ia harus menjatuhkan hukuman ta’zir
yang sesuai dengan perbuatannya.
c. Hukuman
ta’zir atas perbuatan-perbuatan pelanggaran (Mukhalafah)
Pelanggaran mukhalafah adalah melakukan
perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan mandub. Untuk penjatuhan hukuman
ta’zir atas perbuatan ini, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman. Jadi penjatuhan hukuman itu bukan karena perbuatannya itu
sendiri, melainkan karena berulang-ulangnya sehingga perbuatan itu menjadi adat
kebiasaan.
Apabila perbuatan mukhalafah
(pelanggaran) itu mengganggu kepentingan atau ketertiban umum maka pelaku dapat
dikenakan hukuman tanpa diperlukan berulang-ulangnya perbuatan. Hal tersebut
atas dasar penjatuhan hukuman dalam kasus semacam itu bukan karena mengerjakan
makruh atau meninggalkan mandub, melainkan karena perbuatan tersebut mengganggu
kepentingan dan ketertiban umum.
B.
Asas Tidak Berlaku Surut
1.
Pengertian Asas Tidak Berlaku Surut
Asas tidak
berlaku surut merupakan kelanjutan dari asas legalitas dalam hukum pidana
Islam. Dalam asas ini, mengandung arti bahwa setiap aturan pidana yang dibuat
terkemudian tida dapat menjerat perbuatan pidana yang dilakukan sebelum aturan itu
dibuat.[[7]]
Hal tersebut didasarkan atas beberapa firman Allah berikut:

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (Q.S. An-Nisa
:22)

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(Q.S
Al-Baqarah : 275)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,
ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan
buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu
sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat
dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan
yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai
(kekuasaan untuk) menyiksa.”(Q.S Al-Maidah : 95)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memaafkan
perbuatan-perbuatan yang dilakukan umat-Nya sebelum adanya aturan baru yang
menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah atau
maksiat. Hal ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak berlaku surut. Selain itu,
dari ayat di atas menggambarkan suatu contoh kasus penerapan asas tidak berlaku
surut, yaitu menikahi bekas istri ayah yang telah disetubuhi dan memakan riba,
dan berburu di waktu sedang melakukan ihram adalah perbuatan yang dibolehkan
sebelum datang ayat-ayat tersebut. Perbuatan-perbuatan tersebut yang dilakukan
sebelum datang ayat yang melarangnya (menghramkan) tidak dapat dikenai sanksi,
melainkan dimaafkan. Oleh karena itu, aturan-aturan yang datang terkemudian
tidak dapat menjerat perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan
jarimah oleh aturan tersebut, yang dilakukan sebelum datang aturan tersebut.
2. Kekecualian Asas Tidak Berlaku Surut
Menurut ‘Abd
al-Qadir ‘Awdah, ada kekecualian dalam penerapan asas tidak berlaku surut ini.
Kekecualian tersebut adalah :[[8]]
1) Hukum pidana Islam berlaku surut pada jarimah-jarimah yang sangat
berbahaya yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban umum.
اَنَّ التَّشرِيْعِ الْجِنَائِيْ يَجُوْزُ اَنْ يَكُوْنَ لَهُ اِثْرَ
رَجْعِيٌ فِيْ حَالَتِ الْجَرَائِمِ الْخَطِيْرَةِ الَّتِيْ تَمْسِ الْأَمْنَ
الْعَامِ
Hukum Pidana Islam boleh berlaku surut pada
jarimah-jarimah yang sangat berbahaya yang berkaitan dengan keamanan dan
ketertiban umum.
Kaidah
ini didasarkan atas perbuatan Rasulullah saw yang telah menghukum suatu kaum
dengan nash yang datang terkemudian. Nash tersebut adalah :

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar.”(Q.S. Al-Maidah : 33)
Ayat di atas menjadi landasan bagi Rosulullah
saw untuk menghukum bagi suatu kaum dari ‘Uraynah yang melakukan perampokan dan
pembunuhan terhadap sahabat Rasulullah saw, meskipun perbuatan tersebut
dilakukan sebelum turun ayat di atas (hukum perampokan). Hal ini menunjukkan
bahwa ayat tersebut dapat menjerat perbuatan yang dilakukan sebelum aturan
tersebut ada.
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ عُرَيْنَةَ اجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ
فَرَخَّصَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يَأْتُوا إِبِلَ الصَّدَقَةِ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا
فَقَتَلُوا الرَّاعِيَ وَاسْتَاقُوا الذَّوْدَ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَّعَ أَيْدِيَهُمْ
وَأَرْجُلَهُمْ وَسَمَرَ أَعْيُنَهُمْ وَتَرَكَهُمْ بِالْحَرَّةِ يَعَضُّونَ
الْحِجَارَةَ
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada
kami Yahya dari Syu’bah telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas
radliallahu ‘anhu bahwa ada sekelompok orang dari ‘Urainah yang sakit terkena
udara dingin kota Madinah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengobati mereka dengan memberi bagian dari zakat unta, yang mereka meminum
susu-susunya dan air kencingnya. Namun kemudian orang-orang itu membunuh
pengembala unta tersebut dan mencuri unta-untanya sejumlah antara tiga hingga
sepuluh. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang.
Akhirnya mereka dibawa ke hadapan Beliau, lalu kemudian Beliau memotong tangan dan
kaki mereka serta mencongkel mata-mata mereka dengan besi panas lalu menjemur
mereka dibawah panas dan ditindih dengan bebatuan.”
Dasar
lainnya adalah Rasulullah saw pernah menghukum orang-orang yang telah menuduh
zina (qadzif) kepada Aisyah dengan dasar al-Qur’an Surat an-Nur ayat empat yang
turun setelah perbuatan menuduh zina itu dilakukan.
2) Hukum pidana Islam berlaku surut apabila aturan pidana yang terkemudian
itu menguntungkan pelaku jarimah.
“Hukum Pidana Islam berlaku surut apabila
menguntungkan si pelaku jarimah”
Kaidah ini didasarkan atas perbatan Rasulullah saw
yang pernah menghukum orang yang telah menzhihar istrinya dengan nash yang
datang terkemudian karena nash tersebut lebih menguntungkan . nash tersebut
adalah : surat Al-Mujadilah : 1-4

“Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar
soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”

“Orang-orang
yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun. “

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Ayat di atas turun berkenaan dengan kasus Aws bin
Shamit yang menzhihar istrinya, Khawlat binti Tsa’labat. Sebelum ayat ini
turun, hukuman bagi mereka yang menzhihar istrinya adalah memutuskan ikatan
pernikahan untuk selama-lamanya. Dengan ayat ini, hukuman menjadi lebih ringan
yaitu dengan kiffarat, sebagaimana disebutkan di atas . perbuatan Rasulullah
saw menunjukkan bahwa aturan pidana itu dapat berlaku surut, jika aturan
tersebut lebih menguntungkan bagi pelaku. Hal ini disebabkan pula oleh maksud
dari adanya hukum itu sendiri. Pada dasarnya hukum dibuat untuk mewujudkan
kemaslahatan. Oleh karena itu, aturan yang paling menguntungkan bagi pelaku
jarimah lebih diutamakan walaupun aturan itu dibuat setelah perbuatan
jarimah tersebut dilakukan.
C.
Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah
asas yang mendasari seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus
dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan
menyatakan dengan tegas kesalahannya. Asas ini lahir dari adanya asas legalitas.
Asas ini diambil dari ayat Al-Qur’an yang menjadi sumber asas legalitas dan
asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain yang menyatakan bahwa
setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan
memikul dosa atau kesalahan yang diperbuat oleh oranglain.

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS.
Al-Israa:15).

Katakanlah: "Siapakah yang lebih
kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara
aku dan kamu. Dan Al Quraan ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quraan
(kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di
samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam Hukum Islam terdapat asas-asas yang
menyertainya, begitupun dalam Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) terdapat
asas-asas yang menyertainya yaitu asas legislatif, asas tak berlaku surut, dan
asas praduga tak besalah. Karena suatu perbuatan yang telah dilakukan tidak
bersalah atau tidak melanggar hukum apabila tidak terdapat bukti-bukti yang
mendukung bahwa perbuatan itu dianggap salah.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami meminta
saran yang membangun apabila terdapat kesalahan dalam penulisan atau dalam
materi ini. Agar kami bisa menyusun makalah dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Wardi Muslich, Ahmad. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana
Islam Fiqh Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika.
Ali,
Zainuddin. 2007. Hukum Pidana Islam.Cet.1.Jakarta: Sinar Grafika
Al
Faruq, Asadulloh. 2009. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Cet.1.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Ali,
Muhammad Daud. 1996. Hukum Islam.Cet. 5. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
[1]
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas
Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.29.
[2]
Ibid,hlm.29.
[3]
Ibid, hlm.36.
[4]
Ahmad Hanafi, Asas Hukum Pidana Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1993, hlm.67.
[5]
Ahmad Wardi Muslich, Op.cit, hlm.41.
[6]
Ibid, hlm.42.
[7]
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah
Fiqh Jinayah, Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004, hlm.50.
[8]
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Ibid, hlm.53.

Komentar
Posting Komentar